Tuesday, December 10, 2019

Kisah Kelahiran Sunan Pakubuwono X - Artikel Surat Kabar Soerabaijasch Handelsblad


  • Ayah dan Anak: Susuhunan Ke Sembilan dan Ke Sepuluh


Sunan Pakubuwono IX dan GKR. Pakubuwono

Diterjemahkan dari surat kabar Soerabaijasch Handelsblad, 7 Oktober 1936.

Jika seseorang ingin mengetahui kepribadian Sunan Pakubuwono X dari Surakarta, maka pertama-tama ia harus meninjau kembali kepada orang tuanya, yakni Sunan Pakubuwono IX beserta pendampingnya, yang menurut sejarah telah membentuk manajemen yang sangat baik dengan segala macam perbaikan dan reformasi di hampir setiap bidang.

Sepertinya ada suasana ajaib menggantung di (atas) kedua orang tua dari Susuhunan Pakubuwono yang ke-10 ini. Apakah ini legenda atau kenyataan? Apakah ini campuran kebenaran dan tipuan? Hal ini masih harus dibuktikan. Dalam kenyataan keseluruhannya, seperti yang diceritakan oleh banyak orang, ada hembusan nafas kedamaian dan kegembiraan. Tidak dapat dipungkiri bahwa anak yang memiliki daya tarik yang sangat kuat dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga kerajaan ini, diterima dengan penuh suka cita.

Menurut sejarahnya, Susuhunan muda, Sunan Pakubuwono IX, harus memenuhi keinginan umum yang dijunjung tinggi dalam keraton, yaitu memilih putri tunggal Sunan Pakubuwono VII sebagai permaisurinya. Putri ini bernama GKR. Pembayun. Namun, perkawinan ini tidak jadi berlangsung. Alasannya cukup kuat karena ada unsur romantika yang indah. Putri tunggal Sunan Pakubuwono VII yang juga masih muda ini, telah mengarahkan pandangannya pada Sultan Hamengkubuwono V dari Yogyakarta. Sekalipun jika Sultan ini berpura pura cinta, ia pun akan segera diterima oleh putri Solo yang menawan ini.

Dinasti Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta sempat hidup dalam konflik. Konflik ini sebelumnya diwariskan seperti mewariskan perhiasan kerajaan, dan itu bisa dilihat dengan adanya perpisahan dalam silsilah penguasa kerajaan-kerajaan itu sendiri. Terbukti bahwa selama lebih dari satu abad mereka mengesampingkan hubungan kekerabatan yang sebenarnya apabila tidak bermusuhan akan bisa saling menguntungkan.

Apabila kita lihat dari sudut pernikahan, permusuhan antara ke empat penguasa yang terdiri dari dua Raja dan dua Pangeran Adipati ini sebetulnya bisa diakhiri dengan cara yang sangat menyenangkan. Dengan demikian, mantra yang lebih dari seabad ini akhirnya bisa dihancurkan, semoga terus demikian selamanya. Pada masa Sultan Hamengkubuwono V, konflik itu masih berlaku, sehingga raja Jogja ini tidak ingin tahu apapun tentang pernikahan dengan putri Solo dan bahkan melarang adiknya untuk mencari jodoh di antara para putri Solo. Adik Sultan Yogyakarta ke-5 itu tidak merasa terganggu oleh larangan kerajaan ini.

Putri Pembayun dari Solo akhirnya wafat tanpa menikah. Untuk cinta yang tidak menemukan resonansi, pastinya sangat membutuhkan ketabahan dan tingkat kesabaran yang sangat tinggi.


R.Aj. Kustiyah - yang mejadi permaisuri dengan gelar GKR. Pakubuwono

Untuk Sunan Pakubuwono IX muda, penolakannya tentu saja merupakan kekecewaan besar. Beliau berdoa kepada Allah agar beliau diberikan permaisuri yang bermartabat. Doa beliau dikabulkan dengan cara yang sangat spesial. Pada malam hari Rabu pada hari Kamis Kliwon, 29 Jumadilawal tahun Jimakir 1794, atau 19-20 Oktober 1865 tahun Masehi, sang Sunan menghadiri pesta pernikahan Asisten Residen Van Prehn di Jebres. Untuk memeriahkan pesta pernikahannya, pegawai negeri ini mengadakan malam dansa, dimana di antara para tamu Eropa ada juga pejabat-pejabat tinggi serta bangsawan Jawa. Di antara mereka adalah janda Kangjeng Pangeran Adiwijoyo II, yaitu Kangjeng Ratu Bandoro dan putrinya, Raden Ajeng Kustiyah yang cantik. Menjelang tengah malam, jam 24.00, cerita berlanjut dengan nuansa ajaib.

Secara tiba-tiba muncul sebuah bola cahaya seukuran buah kelapa di atas kediaman asisten residen. Bola cahaya itu melayang-layang untuk beberapa saat dan akhirnya menghilang, tetapi kemudian rumah kediaman pegawai negeri itu menjadi seperti bermandikan cahaya, yang disebabkan oleh cahaya indah yang datang dari cahaya yang keseluruhannya mengelilingi badan ramping Putri Kustiyah. Cahaya yang sangat lembut, selembut cahaya bulan. Setelah itu seluruh lingkungan kembali kepada keadaan semula, cahaya langka tadi kembali menjadi pencahayaan lampu biasa. Namun, ada kilau yang tetap bertahan di sekitar sosok Kustiyah. Sudah tentu, semua yang hadir sangat terkesan, tetapi yang pasti sangan terkesan adalah sang Sunan muda, karena matanya tidak bisa berpaling dari putri yang cantik itu, sekalipun beliau sedang berdansa dengan seorang wanita. Pada pukul 01.00 dini hari, ketika dia kembali ke keraton, dia memerintahkan K.P. Kolonel Purbonagoro, komandan pasukan Kasunanan, untuk pergi menemui Ratu Bandoro keesokan paginya, bermaksud memberitahukan bahwa sang Sunan ingin mempersunting putrinya untuk permaisuri; (dengan rencana) pernikahannya akan dilangsungkan di bulan Rajab. Jadi masih selang tiga bulan. 

Pagi berikutnya Pangeran Purbonagoro menjalani perintah ini dan pergi ke rumah Ratu Bandoro, yang masih ada sampai sekarang dan dihuni oleh Pangeran Aryo Kusumoyudho. Menerima maksud Sunan, Ratu Bandoro menjawab bahwa dia ingin mengabulkan keinginan sang Sunan, tetapi permintaan itu harus diajukan kepada Adipati Mangkunagoro IV (pamannya), karena keputusannya ada di tangan beliau. Pangeran Purbonagoro melaporkan hasil dari yang ditugaskan kepadanya kepada Sunan Pakubuwono IX dan harus segera pergi ke Adipati Mangkunagoro IV. Perintah itu segera dipenuhi sore itu juga oleh komandan pasukan Kasunanan; sebelum Ia pergi ke Puro Mangkunagaran, dia menjemput Ratu Bandoro, yang kemudian menemaninya dalam perjalanan ini. 

Adipati Mangkunagoro IV menjawab permintaan lisan pihak Kasunanan, bahwa dia senang bisa menyesuaikan diri dengan keinginan sang Sunan, dan Pangeran Kolonel Purbonagoro bergegas kembali ke keraton. Jumadilakir, jatuh pada hari Sabtu yang akan datang, di bulan pertama, bulan berikutnya, sang Sunan memanggil petinggi kerajaan, Raden Adipati Sosrodiningrat III, yang telah diberi tahu tentang pernikahan yang dimaksudkan dengan putri Ratu Bandoro. Sementara hari pernikahan juga ditetapkan pada hari Senin Legi, tanggal 4 bulan Rejeb, yaitu 4 Desember 1865 Masehi. Raden Adipati Sosrodiningrat III diperintahkan untuk meminang Raden Ajeng Kustiyah dan membuat persiapan yang diperlukan untuk pernikahan yang akan datang, dan pada hari tersebut dilakukan di bawah upacara yang luar biasa. Pada hari ke-35 setelah pernikahan, Raden Ajeng Kustiyah diangkat menjadi permaisuri bergelar GKR. Pakubuwono, dan dia telah membuat dirinya dikenal sebagai pendamping Sunan, sehingga orang mengetahui dan bisa berbicara tentang pernikahan yang sangat bahagia.

Kelahiran Sunan Pakubuwono X


GRM. Sayyidin Malikul Kusno - baginda ialah Sunan Pakubuwono X

Setelah beberapa bulan mengandung, GKR. Pakubuwono mengidam pakisrojo. Makanan orang Jawa, sayuran yang berupa batang daun dari jenis pakis yang belum terbuka. Jenis pakis ini biasanya ditemukan di pegunungan. Berhubung pakisrojo tidak tersedia di Surakarta, Pangeran Purbonagoro menghubungi seseorang yang bernama John Smith dari Gumawang, yang kemudian mengirimkan beberapa orang untuk mengambil sayuran pakisrojo itu di daerah Sukuh. Di pertengahan perjalanan kembali ke ibu kota kerajaan, Pangeran Purbonagoro bertemu dengan para prajurit utusannya. Pada tengah malam beliau kemudian melapor kepada Sunan dan menyerahkan sayuran pakisrojo tersebut.

Karena yang dimaksud adalah kelahiran putra Sunan, maka GKR. Pakubuwono pindah ke Kamar Gading Dalem Ageng Probosuyoso, sedangkan para petinggi kerajaan diperintahkan untuk berjaga secara bergantian. Sementara para prajurit tidak diizinkan untuk pergi lebih jauh dari tiang keraton, dengan maksud agar mereka dapat mudah dipanggil kembali, bila dibutuhkan. Karena apabila putra Sunan lahir, terompet sinyal harus diperdengarkan dan juga disertai dengan tembakan meriam. Rabu Kliwon, tanggal 12 bulan Rajab, 29 November 1866 Masehi, jam 09.00 pagi diumumkan bahwa pada jam 05.30 pagi harinya seorang putra telah lahir, yang di kemudian hari menjadi Sunan Pakubuwono X. Segera setelah lahir, para pemukul genderang harus naik ke puncak Panggung Songgobuwono dan kemudian menabuh genderang di jalan. Gamelan dimainkan disertai dentuman suara meriam. Dengan demikian, rakyat menjadi tahu bahwa seorang putra raja telah lahir.

Sunan Pakubuwono IX dan istrinya, bersama dengan ibu suri, GKR. Ageng, sangat bersyukur dan senang karena doa-doa mereka telah dijawab oleh Allah dengan kelahiran putra mahkota ini. Anak raja ini diberi nama GRM. Sayyidin Malikul Kusno dan kelahirannya dirayakan dengan pesta selama lima hari di keraton. GKR. Ageng mengadopsi pangeran ini sebagai putranya sendiri, sehingga diizinkan untuk menyebut ayahnya dengan sebutan kangmas (kakak laki-laki) dan menyebut ibunya dengan mbakayu nganten (kakak perempuan). Kangjeng Ratu Ageng sangat mencintai cucunya, sehingga selalu harus tidur dengannya. Sang putra mahkota tidak pernah kekurangan cinta dan kasih sayang.




*  *  *




Kata Kunci:


Sunan Pakubuwono X, Sunan Pakubuwono IX, GKR. Pakubuwono, Kasunanan Surakarta, Keraton Surakarta

This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post

---PASANG IKLAN DISINI (100px*800px)---